BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Memasuki
tiga dasawarsa terakhir dipenghujung abad ke-20, ada satu fenomena menarik di
tengah-tengah masyarakat dunia, khususnya bangsa Indonesia, yaitu menguatnya
tuntutan akan demokratisasi. Menguatnya tuntutan ini lantaran demokrasi
dipandang sebagai sistem yang mampu mengantar masyarakat ke arah transformasi
sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dinilai lebih mampu mengangkat harkat manusia,
lebih rasional, dan realitis, untuk mencegah munculnya suatu kekuasaan yang
dominan, represif, dan otoriter.
Demokrasi dapat dimengerti sebagai
suatu sistem politik di mana semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan
dipilih dalam pemilu yang diadakan secara periodik dan bebas, yang secara
efektif menawarkan peluang pada masyarakat untuk mengganti elit yang
memerintah. Menurut Sundaussen dalam Murod
(1999:59), demokrasi juga bisa dipahami sebagai suatu “policy” di mana
semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,
mempunyai hak yang sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama
yang dipeluknya. Meskipun begitu, Sundaussen meyakini bahwa tidak semua
manifestasi-manifestasi tentang demokrasi di atas pernah dijalankan sepenuhnya,
bahkan dalam suatu sistem yang demokratis sekalipun.
Setelah orde baru tumbang dan
Indonesia secara dramatis sudah melangkah ke tahap institusionalisasi
demokrasi, sebetulnya perubahan-perubahan penting telah banyak terjadi. Minimal
dari segi pranata, legal dan institusional. Kita sudah melaksanakan pemilu
legislatif dan pemilihan presiden secara langsung, kemudian banyak
ritual-ritual demokrasi dimana partisipasi rakyat itu bisa diinstitusionalisasi
berlangsung secara berkala dan reguler. Partai dibebaskan untuk berdiri,
Indonesia mengalami periode dimana liberalisasi politik berpuncak pada multi
partai yang luar biasa besar. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai point of
no return. Sejauh kita bertekad untuk meneruskan mekanisme politik seperti
ini secara legal dan konstitusional.
Undang-Undang Dasar 1945 sudah
menjamin proses itu berlangsung terus. Beberapa perubahan penting yang cukup
mendasar, salah satunya adalah desentralisasi. Sekarang dalam tahap menuju
desentralisasi demokrasi. Memang kita akui mengandung banyak sekali kelemahan,
banyak pertikaian yang tidak perlu, dan banyak sekali benturan kepentingan yang
sengit agar desentralisasi betul-betul bermakna desentralisasi demokrasi maupun
desentraliasi kekuasaan. Suasana ini sudah berlangsung sebagai basis bagi
kehidupan berkala kita selama lima tahun proses sirkulasi kekuasaan. Hanya
saja, siapa yang memanfaatkan situasi ini, memanfaatkan institusi ini,
memanfaatkan mekanisme dan prosedur yang sudah demokratis seperti ini. Kita
tahu bahwa yang berhasil memanfaatkan secara maksimal ternyata adalah
aktor-aktor politik. Hal ini bisa dilihat pada semangat elit politik mendirikan
partai politik guna meraih kekuasaan.
Jadi yang kita pahami menyangkut
gerakan demokrasi di Indonesia adalah berbasis aktor. Penulis mengasumsikan itu
sebagai upaya berbagai kelompok aktor di kalangan masyarakat Indonesia, dan itu
bisa berbagai variasi, yang berusaha memperkuat institusi-insitusi demokrasi
pada tingkat yang lebih jauh, yaitu politik demokratisasi. Termasuk juga
bagaimana demokrasi harus diberi konteks sosial kultural.
Diantara aktor politik yang turut
berperan dalam gerakan demokrasi di Indonesia adalah KH. Abdurrahman Wahid atau
lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Sebagai mantan presiden RI keempat
hasil koalisi poros tengah dan mantan ketua Umum NU selama tiga periode, Gus
Dur sangat dikenal sebagai tokoh yang “nyeleneh”, vokal, dan kontroversi. Sebagai
contoh kasus pencabutan SIUPP Monitor tahun 1990, di saat mayoritas umat Islam
mengecam angket yang dibuat Tabloit Monitor, Gus Dur justru sebaliknya mengecam
tindakan tersebut. Kecaman Gus Dur ini bukan semata-mata membela Monitor, namun
sikap umat Islam dalam pandangannya sudah kelewat batas. Dalam pengertian,
sikap umat Islam justru sudah mengarah pada sikap anti-demokrasi, misalnya
meminta pencabutan terhadap Harian kompas dan Gramedia Group. Gus Dur
menyatakan tidak setuju menyelesaikan masalah hanya dengan pencabutan SIUPP
saja tanpa mengedepankan perkara ke pengadilan.
Gayanya yang seperti “pemain
ketoprak” ini oleh Abdurraman Wahid sudah dirajut semenjak dia mulai
berkecipung dalam discourse pemikiran pada awal 1970-an. Hanya saja
lantaran setiap lontaran pemikirannya dipandang tidak lazim untuk zamannya,
penuh kontroversi, dan selalu membuat orang “terkejut”, tidak heran bila ada
atau bahkan banyak yang menganggap Gus Dur sebagai cendekiawan Muslim penuh
kontroversi, dan aneh. Predikat ini secara konsisten dipertahankannya hingga
sekarang (Murod, 1999: 86).
Predikat ini tampaknya cukup tepat,
bila mengamati sikap dan pemikiran politik Abdurrahman Wahid, sejak
kemunculannya sebagai seorang scientist sampai kemudian menjadi seorang
aktor politik (political player) yang cukup mumpuni, atau sebagai
politisi paling ulung di era 1990-an, menurut Salim Said dalam Murod (1999:86).
Dalam berbagai sepak terjangnya, Abdurrahman Wahid nyaris selalu berseberangan
dengan mainstream sebagian cendekiawan Islam.
Secara faktual asumsi ini tak bisa
dibantah, hanya saja menurut Al-Zastrouw (1994:2), bila dikaji secara lebih
jauh apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid sebenarnya hal yang wajar dan biasa
terjadi dalam proses kehidupan. Jika dikatakan aneh dan kontroversi itu
lantaran keberaniannya untuk berbeda dan keluar dari kelaziman. Ini diperkuat
Emha Ainun Nadjib yang menyebut Abdurrahman Wahid sebagai “orang gila” dalam
sejarah. “Orang gila” yang dimaksud Emha Ainun Najib adalah orang yang
menggagas apa yang tidak digagas orang lain, memikirkan apa yang tidak
dipikirkan orang lain, dan membayangkan apa yang tidak dibayangkan orang lain
(1993:12).
Sementara Hakim (dalam murod,1993:87),
menyarankan bahwa untuk memahami Abdurrahman Wahid, ada tiga kunci yag harus diperhatikan,
liberalisme, demokrasi, dan universalisme. Bila
kita memahami dalam bingkai tiga kata kunci ini, apapun pemikiran atau langkah Gus Dur akan bisa dimaklumi.
Artinya, bukan Abdurrahman Wahid yang mendahului jamannya, tetapi terkadang
tidak sedikit orang yang terlalu konservatif, a-priori, picik, dan sempit
pandangan dalam mengekspresikan sepak terjang Abdurrahman Wahid.
Sebelumnya, Abdurrahman Wahid juga
pernah melontarkan berbagai gagasan yang terbilang aneh, seperti mengganti assalamu’alaikum
menjadi “selamat pagi, sore atau malam”,
menjadi juri Festifal Film Indonesia (FFI), membuka Malam Puisi Jesus Kristus
di gereja, menolak bergabung dengan ICMI, di kala sebagian besar umat Islam
mendambakan kehadirannya, termasuk juga keterlibatannya sebagai ketua di Forum
Demokrasi (Fordem), serta kunjungannya ke negara Zionis, Israel.
Bukan hanya itu, dalam konteks
pergulatan politik di tingkat elit, Abdurrahman Wahid juga terbilang
kontroversi dan vokal. Karenanya tidak mengherankan kalau kemudian ia sering
terhalang oleh berbagai rintangan. Akhir 1998-an sampai dengan pertengahan 2004
merupakan masa penuh tantangan bagi Abdurrahman Wahid dalam konstelasi politik
nasional.
0 komentar:
Posting Komentar