Latar Belakang Masalah
Dalam era pembangunan tidak dapat dipungkiri
bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara bergantung pada
sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan
teknologi baru dari anggota masyarakatnya. Untuk mencapai hal itu maka
sikap dan perilaku kreatif perlu dipupuk sejak dini, agar peserta didik
kelak tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, tetapi mampu
menghasilkan pengetahuan baru, tidak hanya menjadi pencari kerja, tetapi
mampu menciptakan pekerjaan baru (Munandar, 1999, h. 46).
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Jellen dari Universitas Utah Amerika
Serikat dan Urban dari Universitas Hannover Jerman pada Agustus 1987
terhadap anak-anak berusia 10 tahun (dengan sampel 50 anak-anak di
Jakarta), menunjukkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak Indonesia
terendah di antara anak-anak seusianya dari 8 negara lainnya (Djunaedi,
2005).
Hasil observasi peneliti terhadap salah satu SD Negeri di
Salatiga yang akan menjadi subyek dalam penelitian ini, menunjukkan
bahwa kreativitas siswa di SD tersebut kurang. Hal ini terlihat ketika
guru memberi soal-soal IPS misalnya, siswa mengerjakannya persis sama
dengan cara yang ada dibuku (teks book), siswa jarang mencoba mencari
cara yang lain. Ketika diberi tugas untuk mengarang bebas, kebanyakan
siswa mengarang dengan tema yang sama, begitu juga dengan tugas
menggambar. Dalam diskusi atau kerja kelompok biasanya hanya beberapa
siswa yang aktif, sedangkan siswa yang lain hanya mengikuti saja, jarang
ada siswa yang mengajukan pertanyaan atau mencoba mengutarakan
pendapatnya.
Drevdahl (dalam Diana,1999, h.7) mengungkapkan bahwa
kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta karangan, hasil atau
ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh pencipta. Kemampuan ini
merupakan aktivitas imajinatif atau berpikir sintesis, yang hasilnya
merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, berarti, dan
bermanfaat.
Di sekolah, keunikan dari pikiran dan ungkapan anak
sering kurang mendapat perhatian, anak lebih banyak diharapkan menerima
informasi yang diberikan oleh guru, menghafalnya, dan mereproduksinya.
Ketika anak dapat mengulang apa yang diajarkan guru dengan tepat, maka
anak akan mendapat nilai yang baik. Dalam pendidikan massal keunikan
ungkapan individu kurang dihargai, tidak mengherankan jika hasil
penelitian menunjukkan bahwa begitu anak masuk kelas satu SD
kreativitasnya cenderung menurun (Munandar, 2000, h.390-394).
Kreativitas
akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun lingkungan sekolah turut menunjang dalam
mengekspresikan kreativitas. Lehman (dalam Hawadi, 2001, h.27)
menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas yaitu
lingkungan, sosial ekonomi, dan kurangnya waktu bebas. Faktor lingkungan
adalah faktor yang lebih berpengaruh terhadap munculnya ekspresi
kreativitas, baik itu lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah. Rumah
dapat dianggap sebagai lingkungan pertama yang membangkitkan kemampuan
ilmiah anak untuk bersikap kreatif, oleh sebab itu orang tua harus
mendukung anak untuk mengembangkan kreativitasnya.
Guru adalah tokoh
yang paling utama dalam membimbing anak dan orang yang paling
bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas di sekolah, termasuk dalam
usaha untuk meningkatkan kreativitas. Namun, sistem pengajaran yang
dilakukan oleh guru lebih menekankan pada penyampaian informasi faktual
dan pengembangan penalaran yaitu pemikiran logis menuju pencapaian satu
jawaban yang benar atau paling tepat, cara penemuan jawaban benar sering
pula sudah ditentukan oleh guru.
Dengan demikian pemikiran kreatif,
yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang
dan mampu memberikan macam-macam kemungkinan jawaban secara lancar,
fleksibel, dan orisinal, kurang dirangsang (Munandar, 1999, h.14).
Kreativitas
anak di sekolah dapat meningkat apabila guru lebih bersikap demokratis
dalam mengajar yaitu guru menghargai kemampuan anak, memberi kesempatan
anak untuk mengembangkan potensi dan mengungkap-kan gagasan-gagasannya,
serta memperbolehkan anak menjajaki beberapa cara untuk memecahkan
berbagai persoalan. Winkel (2004) menyebutnya dengan istilah gaya
mengajar secara demokratis. Hal inilah yang ingin diteliti lebih jauh
oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal
dari kemampuan berpikir kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar.
Dalam suasana demokratis, ketika belajar atas prakarsa sendiri dapat
berkembang, karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak
untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan baru dan ketika anak
diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya,
dalam suasana inilah kemampuan kreatif dapat tumbuh dengan subur
(Munandar, 2004, h.12).
Mendidik anak secara demokratis dapat
meningkatkan kreativitas, dimana guru dapat berperan aktif menciptakan
suasana yang mendukung kreativitas anak melalui sikap menghargai dan
menghormati keberadaan anak sebagai individu, menerima anak sebagaimana
adanya, dan menjauhi sikap otoriter yang tidak memberi kebebasan pada
anak untuk menuangkan ide-ide kreatifnya. Cara lain yang efektif adalah
dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan terbuka yang menimbulkan minat
dan merangsang rasa ingin tahu, serta mendorong untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sendiri terhadap suatu masalah. Biasanya dalam
proses belajar mengajar, guru mengajukan pertanyaan kepada anak tapi
jarang mengajak anak untuk mengajukan pertanyaan (Munandar, 2000,
h.390-394).
Sebagai fasilitator guru memberikan kemudahan dan sebagai
motivator guru mendorong siswa untuk mengembangkan prakarsa dalam
menjajaki tugas-tugas baru. Guru tidak cepat memberikan kritik, tetapi
memberikan dukungan dan rangsangan bila diperlukan. Guru hendaknya
bersifat terbuka terhadap gagasan siswa-siswanya, termasuk
gagasan-gagasan yang baru atau luar biasa. Setiap anak hendaknya merasa
bebas mengungkapkan gagasan-gagasan yang tidak lazim, pendapat yang agak
tidak masuk akal, dan ide-ide yang orisinal. Oleh karena itu, sangatlah
penting guru mendorong proses pemikiran, tidak hanya mengenai data yang
sudah ada, tetapi juga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka,
merangsang daya imajinasi, dan kreativitas (Munandar, 2000, h.390-394).
Home » Skripsi Psikologi » MAKNA HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL
Senin, 26 November 2012
MAKNA HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL
lainnya dari Skripsi Psikologi
Ditulis Oleh : Unknown // 20.08
Kategori:
Skripsi Psikologi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar